Di era digital seperti sekarang, banyak Masyarakat Indonesia yang sudah mulai memahami aturan hukum yang berlaku. Hal ini dapat terjadi mengingat semakin beragamnya jenis kejahatan yang terjadi dan akses untuk mendapatkan berita ataupun pengetahuan seputar hukum sudah sangat mudah untuk didapatkan.
Namun akibat perkembangan teknologi ini juga membuat banyak orang berpikir dapat melaporkan siapapun ke pihak berwenang bahkan atas hal sepele yang seharusnya dapat diselesaikan secara kekeluargaan.
Pada prakteknya banyak orang yang “memanfaatkan hukum” untuk memeras orang lain dan bahkan menunjukkan sikap arogan dengan tujuan “mematikan” lawannya, dan tidak memberi celah lewat jalur musyawarah dan langsung membawa masalah ke ranah hukum.
Misalkan saja dalam kasus perkelahian, daripada musyawarah orang malah berlomba-lomba melaporkan lawannya ke Polisi. Apalagi yang harga dirinya terlalu tinggi untuk minta maaf atau memaafkan. Begitu pula pada kasus seorang nenek yang dilaporkan ke Polisi karena mencuri kayu untuk kayu bakar ataupun seorang ibu yang sudah tua dilaporkan anaknya ke Polisi dan dituntut sekian miliar.
Kadang berada di posisi terlapor seperti itu sangat tidak mengenakkan apalagi jika tiba-tiba mendapatkan Surat Panggilan Polisi, apa yang harus dilakukan?
Banyak orang yang pasti mengalami shock therapy ketika mendapatkan Surat Panggilan Kepolisian mengingat Polisi berhak saja menetapkan pihak yang dipanggil tersebut menjadi tersangka selagi memenuhi syarat atau ketentuan tertentu sesuai dengan perkara terkait. Dibayang-bayangi oleh ketakutan tersebut, seringkali membuat masyarakat tidak menyadari jika sebenarnya dalam proses yang harus dijalani tersebut terdapat hak-hak yang melekat terhadap saksi tersebut atau pihak yang dimintakan keterangannya.
Bahwa berdasarkan pengalaman yang dialami sendiri oleh Penulis pada saat pendampingan pada tahap penyelidikan, dengan nada intimidasi, penulis dilarang menggunakan laptop oleh Penyelidik yang notabene laptop adalah media menulis. Bahkan Penyelidik pun dalam melakukan pekerjaannya menggunakan laptop.
Tidak ada satupun pasal dalam KUHAP yang melarang seorang Kuasa Hukum untuk menggunakan media laptop pada saat mendampingi saksi pada tahap penyelidikan, hal ini secara ekplisit menujukan bila seorang Kuasa Hukum demi kepentingan pembelaan terhadap saksi berhak menggunakan media apapun selama hal tersebut tidak bertentangan dengan peraturan, termasuk laptop.
Disaat yang bersamaan, 2 orang rekan Penulis juga diminta untuk keluar dari ruangan oleh Penyelidik dengan alasan “terlalu banyak yang mendampingi”. Sebagai sesama Penegak Keadilan, seharusnya para Penyelidik juga mentaati Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, yang dalam hal ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada Pasal 54 dan 55 KUHAP yang mengatur mengenai hak daripada si Terperiksa, Tersangka dan/atau Terdakwa untuk menerima pembelaan/bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan.
Hal lainnya yang disayangkan juga terjadi saat rekan Penulis ingin menghadirkan Ahli Meringankan di tahapan penyidikan guna membuktikan tidak ada tindak pidana yang terjadi karena keterangan Ahli sendiri memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya untuk tidak menaikkan suatu kasus dari penyelidikan ke penyidikan atau menghentikan proses penyidikan kasus[1], namun hal tersebut dipersulit oleh Penyelidik walaupun hak untuk menghadirkan ahli di tahap penyelidikan merupakan hak yang sesuai ditulis di KUHAP.
Tindakan yang dilakukan Penyelidik/Penyidik di atas merupakan tindakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh Polisi selaku aparat penegak hukum.
Penulis ingin menyampaikan beberapa hal yang diatur pada Pasal 117 ayat (1) KUHAP Tersangka dan Saksi dalam memberikan keterangan tidak boleh diberi tekanan dan keterangannya harus dicatat seteliti mungkin sesuai dengan kata-kata yang dipergunakan oleh Tersangka.
Bahwa secara lengkap, hak-hak umum Tersangka secara lengkap diatur dalam KUHAP yaitu:
- Mendapatkan penjelasan mengenai hal yang disangkakan kepadanya. Untuk mempersiapkan pembelaan, Tersangka berhak diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya (Pasal 51 huruf a KUHAP);
- Memberikan keterangan secara bebas kepada Penyidik atau Hakim (Pasal 52 KUHAP);
- Mendapatkan Juru Bahasa (Pasal 53 KUHAP);
- Mendapat bantuan hukum dari seorang/lebih Penasihat Hukum dan memilih sendiri Penasihat Hukum nya (Pasal 54 dan 55 KUHAP);
- Menuntut ganti rugi dan rehabilitasi, yaitu ganti kerugian apabila ditangkap, atau ditahan tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan (Pasal 95 ayat (1) KUHAP), dan rehabilitasi apabila oleh Pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 95 ayat (7) KUHAP); dan
- Tersangka/Terdakwa tidak dibebani beban pembuktian (Pasal 66 KUHAP).
[1] Pentingnya keterangan Ahli dalam proses penyelidikan dan penyidikan perkara pidana http://bali.polri.go.id/?q=node/2906561, diakses pada 2 Februari 2022.
Selain hak-hak yang umum tersebut, secara khusus berdasarkan proses-proses dalam hukum acara pidana, setiap Tersangka/Terdakwa dalam proses penangkapan berhak untuk:
- Tidak ditangkap secara sewenang-wenang
Perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHAP);
- Ditangkap oleh pihak yang berwenang melakukan penangkapan
Secara hukum, yang berwenang melakukan penangkapan hanyalah petugas kepolisian, dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka, alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, serta tempat diperiksa (Pasal 18 ayat (1) KUHAP);
- Meminta petugas memperlihatkan surat tugas dan memberikan surat perintah penangkapan, kecuali jika tertangkap tangan, maka penangkapan dilakukan tanpa surat perintah (Pasal 18 ayat (1) dan (2) KUHAP)
Orang yang ditangkap berhak meneliti isi surat perintahnya, seperti kebenaran identitas, alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, dan tempat diperiksa;
- Keluarga orang yang ditangkap berhak menerima tembusan surat perintah penangkapan segera dan tidak lebih dari 7 hari setelah penangkapan dilakukan (Pasal 18 ayat (3) KUHAP);
- Segera diperiksa oleh Penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada Penuntut Umum (Pasal 50 ayat (1) KUHAP); dan
- Meminta dilepaskan setelah lewat batas maksimum penangkapan, yaitu satu hari (Pasal 19 ayat (1) KUHAP).
Bahwa selain hak-hak tersangka/terdakwa yang telah Penulis uraikan diatas, sangat penting bagi setiap orang yang dipanggil atau diperiksa oleh Polisi untuk mengetahui tentang istilah “The Rights to Remain Silent”.
“The Rights to Remain Silent” atau yang lebih sering dikenal sebagai Prinsip Miranda Rules, merupakan satu dari sekian prinsip yang melindungi hak asasi manusia dihadapan hukum. Dimana dikatakan “You have the rights to remain silent. Anything you say can and will be used against you in a court of law. You have the right to speak to an attorney, and to have an attorney present during any questioning. If you cannot afford a lawyer, one will be provided for you at government expense”
Prinsip Miranda rules ini pertama kali diperkenalkan ke dunia hukum semenjak kasus Miranda di Arizona yang dituduh melakukan pemerkosaan dan ditangkap tanpa penawaran untuk mendapatkan pendampingan advokat.[2] Miranda juga mendapat tekanan verbal selama proses interogasi dan dipaksa untuk menandatangani berita acara pemeriksaan tanpa didampingi advokat.
[2] M Sofyan Lubis, Prinsip Miranda Rights Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan (Pustaka Yustitia 2010).
Hakim pun menilai bahwa adanya intimidasi non fisik yang merupakan bentuk pelecehan terhadap martabat manusia, yang kemudian terciptanya Miranda Rules atau hak untuk diam.[3] Dalam Pasal 66 KUHAP yang berbunyi “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”, ketentuan ini adalah penjelmaan dari asas praduga tak bersalah, dengan ini menunjukan bahwa di mata hukum Indonesia, tersangka atau terdakwa dianggap tidak bersalah hingga ada kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa ia bersalah.
Sering Penulis dalam pengalamannya mendampingi pemeriksaan mendengar Penyelidik/Penyidik dalam surat panggilan polisi menyampaikan “tolong bawa barang bukti terkait perkara ini dan itu”, namun ketika si terperiksa tidak dapat menunjukkan dokumen yang dimaksud lantas dengan mudahnya penyelidik/penyidik menganggap terperiksa mempersulit/tidak kooperatif. Padahal penyidiklah yang diberikan kewenangan untuk memeriksa, menggeledah, dan menyita (dengan izin pengadilan) barang bukti terhadap dugaan tindak pidana yang sedang diperiksa oleh kepolisian. Itulah arti sebenarnya dari terperiksa/tersangka/terdakwa tidak dikenai beban pembuktian (burden of proof). Hal ini juga sejalan dengan mengapa terdakwa di Pengadilan ketika didengar keterangannya tidak diambil sumpahnya.
Selain itu juga, hak terdakwa juga dilindungi dalam Undang Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dimana menjamin asas praduga tak bersalah yang tersirat di Pasal 8 (1) “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuasaan hukum tetap”, Ini merupakan suatu cara Indonesia memberikan dukungan kepada setiap orang yang diperiksa untuk diperlakukan adil, dan memiliki hak untuk bebas berbicara atau bebas untuk tidak berbicara tanpa adanya paksaan.
[3] Munir Fuady dan Sylvia Laura, Hak Asasi Tersangka Pidana (Kencana 2015).