Perjanjian Saham Pinjam Nama, atau yang lebih dikenal dengan Nominee Agreement Saham adalah suatu bentuk praktik kepemilikan saham yang sering ditemui di Indonesia.
Manfaat dari praktik Nominee Agreement Saham adalah untuk meminimalisir batasan-batasan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, seperti Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Daftar Negatif Investasi (DNI). Dalam Perpres tersebut, terdapat batasan-batasan terhadap jumlah kepemilikan modal asing dalam bidang usaha tertentu.
Sebagai contoh, perusahaan yang bergerak di bidang usaha Industri Barang Bangunan dari Kayu hanya dapat terdiri dari 100% (seratus persen) modal dalam negeri. Di sisi lain, perusahaan yang bergerak di bidang usaha Industri Angkutan Laut Dalam Negeri untuk Wisata dapat terdiri dari modal asing maksimal 49% (empat puluh sembilan persen). Dengan menggunakan praktik Nominee Agreement Saham, pemilik modal asing dapat “mengakali” batasan tersebut. Hal ini dikarenakan identitas asli dari pemilik modal asing tersebut (beneficial owner/ pemilik manfaat) disembunyikan dengan identitas milik orang lain yang dipinjam namanya (legal owner/pemilik sah).
BAGAIMANA PENGATURAN PERJANJIAN PINJAM NAMA DI INDONESIA?
Di Indonesia, keabsahan suatu perjanjian diatur oleh Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), yang menetapkan 4 syarat agar suatu perjanjian dianggap sah secara hukum: adanya kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat, kecakapan hukum mereka, pengaturan mengenai suatu pokok persoalan tertentu, dan alasan yang tidak terlarang. Ketika kesepakatan atau kecakapan hukum tak terpenuhi, perjanjian bisa dibatalkan. Namun, jika perjanjian tak menetapkan pokok persoalan tertentu atau melibatkan alasan yang dilarang oleh hukum Indonesia, maka dianggap batal demi hukum, artinya tak dianggap ada sejak awal.
Terkait Nominee Agreement, masih ada kekosongan hukum karena belum ada regulasi yang secara tegas mengaturnya. Namun, terkait kepemilikan saham PT, UUPT Pasal 48 ayat (1) menegaskan saham harus atas nama pemiliknya, sementara UUPM Pasal 33 ayat (1) melarang perjanjian yang menegaskan kepemilikan saham atas nama orang lain, menekankan bahwa kepemilikan saham harus atas nama pemilik aslinya tanpa ada perjanjian menegaskan sebaliknya.
AKIBAT HUKUM DARI PELAKSANAAN NOMINEE AGREEMENT SAHAM DI INDONESIA
Nominee Agreement Saham tergolong sebagai perjanjian yang cacat hukum karena tidak memenuhi unsur keabsahan menurut Pasal 1320 KUHPer, yakni “suatu sebab yang tidak terlarang”, merujuk pada larangan dalam Pasal 48 ayat (1) UUPT dan Pasal 33 ayat (1) UUPM. Pelanggaran terhadap ketentuan UUPT dan UUPM tersebut menyebabkan Nominee Agreement Saham melanggar unsur keabsahan perjanjian.
Konsekuensinya, perjanjian ini dianggap batal demi hukum atau tidak pernah ada. Pasal 33 ayat (2) UUPM juga menegaskan bahwa perjanjian semacam itu dianggap batal demi hukum. Pasal 48 ayat (2) UUPT menekankan bahwa syarat kepemilikan saham harus sesuai dengan aturan yang berlaku, yang juga dilanggar oleh Nominee Agreement Saham. Berdasarkan Pasal 48 ayat (3) UUPT, pihak yang dipinjam namanya dianggap tidak memiliki hak sebagai pemegang saham dan saham tersebut tidak dihitung dalam pembentukan kuorum sesuai UUPT dan anggaran dasar perseroan.
OVERALL…
Praktik Nominee Agreement Saham merupakan suatu bentuk praktik terhadap pelaksanaan perjanjian yang mengandung kecacatan hukum. Hal ini berdasarkan fakta bahwa tidak terpenuhinya unsur keabsahan suatu perjanjian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1320 KUHPer dikarenakan mengandung sebab-sebab yang dilarang menurut Pasal 48(1) UUPT dan Pasal 33 ayat (1) UUPM.
Maka dari itu, Nominee Agreement Saham dianggap batal demi hukum (null and void) atau tidak ada dari awa, sehingga legal owner dari saham tersebut tidak dapat menjalankan hak selaku pemegang saham dikarenakan saham tersebut adalah milik pemilik aslinya (beneficial owner/pemilik manfaat). Jika sang legal owner menghendaki untuk menjadi pemegang atas saham tersebut, maka harus diadakan transaksi jual beli saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan antara legal owner dengan beneficial owner.