Beberapa waktu yang lalu sempat diberitakan mengenai kericuhan dalam sidang tertanggal 24 April 2021 di Pengadilan Negeri Jakarta Timur terkait kasus Kerumunan pelanggaran protokol kesehatan COVID-19 di Petamburan antara terdakwa Habib Rizieq Shihab dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU), dalam persidangan tersebut Habib Rizieq beradu mulut dengan JPU lantaran JPU menuding jika Habib Rizieq menggiring pernyataan saksi Kasatpol PP DKI Arifin dengan menayakan apakah ada atau tidaknya kasus pelanggaran protokol kesehatan COVID-19 yang dibawa hingga ranah persidangan, atas pertanyaan tersebut JPU keberatan dan menyatakan bahwa hal tersebut merupakan bentuk penggiringan yang dilarang oleh KUHAP. Lalu bagaimana sebenarnya terkait pertanyaan yang menggiring / menjerat (leading question) oleh terdakwa ini bila dilihat dari perspektif hukum?
Sering kita mendengar, keberatan (objection) terhadap pertanyaan yang bersifat menggiring di pengadilan, namun sebenarnya apa definisi dari pertanyaan yang bersifat menggiring itu sendiri? Pertanyaan yang bersifat menggiring merupakan bentuk pertanyaan yang mendorong responden maupun orang yang ditanya untuk memberikan jawaban yang diinginkan pihak yang bertanya atau dengan kata lain apapun jawaban yang dinyatakan oleh responden akan tetap menyudutkan posisinya. Secara umum, pertanyaan ini bahkan dapat dijumpai sehari-hari, sebagai contoh “Apakah anda sering berpergian dengan sepeda motor?”. Pertanyaan tersebut hanya memberikan opsi sebatas “Ya” atau “tidak” yang mana kedua jawaban tersebut akan sama-sama menyatakan bahwa responden berpergian menggunakan sepeda motor, hanya intensitasnya sajalah yang menjadi pembeda. Sedangkan dalam lingkup hukum, pertanyaan yang bersifat menggiring ini adalah bentuk pertanyaan mengenai suatu perbuatan hukum atau tindak pidana yang tidak dinyatakan oleh saksi, tetapi dianggap seolah – olah dinyatakan oleh saksi.
Dalam sistem hukum common law yang bergantung pada kesaksian para saksi, pertanyaan yang bersifat menggiring adalah pertanyaan yang menggiring jawaban tertentu atau jawaban yang berisikan informasi yang ingin dikonfirmasi oleh penguji (examiner). Pada prakteknya dalam memperoleh kesaksian di pengadilan, penggunaan pertanyaan yang bersifat menggiring dibatasi dengan tujuan untuk mengurangi kemampuan examiner dalam hal mengarahkan atau mempengaruhi bukti yang disajikan. Hal ini juga dikarenakan, pertanyaan yang bersifat menggiring memiliki potensi untuk menggiring jawaban pada bukti kesaksian yang dapat menyesatkan, sehingga jenis pertanyaan ini tidak diperbolehkan dalam pemeriksaan langsung (direct-examination), atau dengan kata lain saat Kuasa Hukum salah satu pihak memberikan pertanyaan kepada saksi mereka sendiri. Dalam kasus tersebut, Kuasa Hukum biasanya harus memanfaatkan pertanyaan yang lebih bersifat terbuka.
John Bouvier (1856). “Suggestive interrogation”. A Law Dictionary, Adapted to the Constitution and Laws of the United States. Legal-dictionary.thefreedictionary.com. Retrieved July 22, 2011. SUGGESTIVE INTERROGATION. This phrase has been used by some[who?] writers to signify the same thing as leading question. (q.v.) 2 Benth. on Ev. b. 3, c. 3. It is used in the French law. Vide Question.
Namun di sisi lain yang perlu diketahui, penggunaan pertanyaan yang bersifat menggiring ini masih tetap diperbolehkan selama proses pemeriksaan silang (cross examination), yaitu saat Kuasa Hukum menanyai saksi dari pihak lawan. Hal ini dimungkinkan karena pada dasarnya, salah satu tujuan pemeriksaan silang (cross examination) adalah untuk menguji kredibilitas dari keterangan yang dibuat oleh saksi dalam pemeriksaan langsung (direct examination), hal ini juga dimungkinkan karena adanya kemungkinan jika saksi yang dihadirkan oleh pihak lawan tidak bersifat kooperatif atau membantu ketika ditanyai oleh Kuasa Hukum dari pihak lain. Selama pemeriksaan silang (cross examination), Kuasa Hukum umumnya menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan saksi untuk memberikan tanggapan yang telah ditentukan sebelumnya. Pertanyaan yang bersifat menggiring juga dapat digunakan oleh Kuasa Hukum untuk menciptakan persepsi dengan tidak membiarkan saksi mengkualifikasi jawaban mereka.
Terhadap uraian di atas jika dikaitkan dengan kasus Habib Rizieq Shihab yang dituding oleh jaksa telah mengajukan pertanyaan yang bersifat menggiring pada saksi, sebagaimana diketahui bahwa sistem hukum common law memang secara terbatas memperbolehkan terdakwa melalui Kuasa Hukumnya untuk menanyakan pertanyaan kepada saksi dengan pertanyaan yang bersifat menggiring, hal tersebut pada dasarnya tidak lain bertujuan untuk meringankan posisi terdakwa.
Di Indonesia sendiri, kewenangan terdakwa untuk mengajukan pertanyaan kepada Saksi tertuang pada Pasal 165 ayat 2 Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi:
“Penuntut umum, terdakwa, atau Penasihat Hukum dengan perantaraan hakim ketua sidang diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi”
Namun yang perlu menjadi pehatian, bahwa di Indonesia tidak ada aturan yang secara eksplisit mengatur larangan bagi terdakwa untuk mengajukan pertanyaan yang bersifat menggiring terhadap saksi. Larangan mengajukan pertanyaan yang bersifat menggiring pada terdakwa maupun saksi dimuat secara luas pada Pasal 166 KUHAP sebagai berikut:
“Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi”
Adapun berdasarkan penjelasan dari Pasal tersebutpun larangan mengajukan pertanyaan bersifat menggiring hanya merujuk pada Penyidik dan JPU. Sehingga secara substansial tidak tepat bagi JPU untuk mengajukan keberatan kepada Hakim dengan menuding dan melarang Habib Rizieq Shihab menanyakan pertanyaan yang bersifat menggiring pada Saksi.