MIRIS! IZIN PENGADILAN SELALU DISEPELEKAN DALAM TINDAKAN PENGGELEDAHAN DAN PENYITAAN

Indonesia merupakan negara hukum yang sangat menjunjung tinggi hukum dan hak asasi
manusia untuk menjamin warga negaranya memiliki kedudukan yang sama dalam hukum
dan pemerintahan tanpa terkecuali. Oleh karenanya, setiap tindakan negara yang dalam hal
ini diwakilkan oleh aparat penegak hukum haruslah dapat dipertanggungjawabkan di
hadapan hukum, terutama atas kewenangan melakukan tindakan Upaya Paksa dalam
Penyidikan (Pro Justitia) yang dapat dilakukan oleh pelaksana tugas Kepolisian Negara
Republik Indonesia (“Polri”) kepada masyarakat wajib dilaksanakan sesuai dengan
peraturan undang-undang yang berlaku.

Penggeledahan dan penyitaan merupakan bagian dari Upaya Paksa dalam proses
penyidikan1. Guna kepentingan penyidikan untuk membuat suatu perkara menjadi terang
dan jelas, maka perlu dilakukan suatu penggeledahan untuk menemukan barang bukti2.
Adapun M. Yahya Harahap berpendapat bahwa penggeledahan adalah tindakan penyidik
yang dibenarkan oleh undang-undang untuk memasuki dan melakukan pemeriksaan rumah
atau tempat kediaman seseorang dan untuk melakukan pemeriksaan terhadap badan dan
pakaian seseorang untuk kepentingan penyidikan agar dapat ditemukan barang bukti
dan/atau tersangka.

Namun pada prakteknya, banyak masyarakat tidak mengetahui sistem hukum acara di
Indonesia, terutama mengenai hak-hak masyarakat itu sendiri saat terbentur pada
kewenangan “Upaya Paksa” yang dapat dilakukan oleh Polri, dan sering kali, ketidaktahuan
masyarakat “disalahgunakan” sebagai celah bagi “oknum” Polri untuk melakukan tindakan
upaya paksa yang tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku dan dalam hal ini
diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 81 Tahun 2008 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).

Terkait “Upaya Paksa” yang tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, baru-baru
ini Kantor Pengacara Bernard Kaligis membela Hak Pemohon dalam mengajukan

1 Pasal 16 (1) d, e Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019 yang menyatakan : “Upaya paksa meliputi : d.
Penggeledahan e. Penyitaan”
2 C Djisman Samosir, “Hukum Acara Pidana dalam Perbandingan”, Cetakan Pertama, Bina Cipta:
Jakarta, 1985, hal 41.
3 M Yahya Harahap, “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan
Penuntutan, Edisi Kedua, Sinar Grafika: Jakarta, 2003, hal 249.

Permohonan Praperadilan perihal Sah atau Tidaknya Tindakan Penggeledahan dan
Penyitaan yang dilakukan oleh “oknum” Polri di daerah Jakarta Barat.
Pemohon merupakan masyarakat yang telah menjadi korban dari tindakan
kesewenang-wenangan “oknum” Polri yang dengan sengaja mengabaikan Izin Ketua
Pengadilan Setempat dalam melakukan serangkaian Tindakan Upaya Paksa
Penggeledahan dan Penyitaan di kediaman Pemohon.

Terkait pembahasan tindakan Penggeledahan dan Penyitaan oleh Polri, media internasional
juga sedang banyak menyorot tindakan penggeledahan dan penyitaan yang baru dialami
oleh mantan presiden Amerika Serikat yaitu Donald Trump.

Kediaman pribadi Donald Trump digeledah oleh Biro Investigasi Federal (FBI) pada hari
Senin, 8 Agustus 2022 waktu setempat. Dilansir dari berbagai sumber berita, dikatakan
bahwa penggeledahan yang dilakukan oleh FBI tersebut telah berbekal surat
penggeledahan resmi dari Pengadilan.

Di bawah Amandemen Keempat (Fourth Amendment to the United States Constitution) yang
berisi larangan penggeledahan dan penyitaan yang tanpa alasan, penegak hukum, dalam
kejadian ini FBI, harus menerima izin tertulis dari pengadilan, atau hakim yang
memenuhi syarat, untuk secara sah melakukan penggeledahan dan penyitaan bukti saat
proses penyelidikan. Pengadilan memberikan izin dengan mengeluarkan surat izin yang
lebih dikenal sebagai warrant. Tujuan akhir dari ketentuan ini adalah untuk melindungi hak
masyarakat atas privasi dan kebebasan dari campur tangan pemerintah yang tidak
wajar.

Bahwa dari kasus penggeledahan dan penyitaan yang dialami Donald Trump kita belajar jika
FBI pun dalam melakukan upaya paksa geledah dan sita wajib mendapatkan izin tertulis
dari Pengadilan. Hal ini juga sama dengan ketentuan Pasal 33 ayat (1) KUHAP menyatakan
: “Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan
penyidikan dapat mengadakan penggeledahan yang diperlukan.”.

Hal ini menegaskan bahwa sebelum dilakukannya suatu penggeledahan, penyidik harus
mendatangi Pengadilan Negeri setempat yang meliputi domisili dari lokasi penggeledahan,
untuk menyampaikan surat permohonan izin melakukan penggeledahan kepada Ketua
Pengadilan Negeri. Surat izin penggeledahan dari Ketua Pengadilan Negeri terbit kurang
lebih 1-2 (satu sampai dengan dua) hari setelah disampaikannya permohonan.

Setelah ada izin penggeledahan dari Ketua Pengadilan Negeri, barulah maka penyidik dapat
melakukan penggeledahan dengan menunjukan surat perintah penggeledahan dan lampiran
surat izin penggeledahan Ketua Pengadilan Negeri setempat.

Hal ini merupakan prosedur awal yang wajib dijalankan oleh Penyidik dan penting untuk
diketahui oleh masyarakat. Apabila orang terdekat mengalami suatu peristiwa
penggeledahan, wajib memeriksa apakah terdapat surat izin dari ketua Pengadilan Negeri
Setempat untuk melakukan penggeledahan atau tidak. Hal ini bertujuan agar tidak ada
tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh “oknum” Polri yang mengatasnamakan
tindakan penggeledahan, namun sebenarnya penggeledahan dilakukan tanpa mengikuti
prosedur yang tercantum dalam KUHAP.

Bahwa penting untuk diketahui juga, jika dalam keadaan yang “sangat perlu dan mendesak”,
yang dirasa oleh penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan
surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat terlebih dahulu, maka penyidik dapat
melakukan penggeledahan, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 34 ayat (1)
KUHAP.

Namun berdasarkan pada sistem pidana dalam hukum Common Law, keadaan mendesak
atau “Exigent Circumstances” menurut Black Law Dictionary, “Exigent circumstances” in
relation to justification for warrantless arrest or search refers generally to those situations in
which law enforcement agents will be unable or unlikely to effectuate an arrest, search or
seizure for which probable cause exists unless they act swiftly and without seeking prior
judicial authorization.” atau yang dapat diartikan “Keadaan mendesak” sehubungan dengan
pembenaran atas tindakan penangkapan, penggeledahan, atau penyitaan tanpa izin
pengadilan hanya diperbolehkan pada situasi-situasi di mana Aparat Penegak Hukum tidak
dapat atau tidak dimungkinkan melakukan penangkapan, penggeledahan atau penyitaan
karena harus bertindak secara cepat tanpa terlebih dahulu meminta izin pengadilan.”

“Exigent Circumstances” atau keadaan mendesak terbagi menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu: a.
Barang Bukti yang mudah hilang / dimusnahkan (Destruction of Evidence); b. Orang yang
membutuhkan bantuan Polisi dengan segera (Emergency Aid); c. Orang yang diduga
melakukan tindak pidana kemudian melarikan diri karena adanya pengejaran (Hot Pursuit).

Dalam waktu 2 (dua) hari setelah memasuki dan/atau menggeledah rumah, penyidik harus
membuat Berita Acara Penggeledahan dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau

penghuni rumah yang bersangkutan. Berita Acara Penggeledahan harus memuat uraian
tentang pelaksanaan dan hasil dari penggeledahan rumah dan/atau badan serta harus
dibacakan terlebih dahulu oleh penyidik kepada yang bersangkutan untuk selanjutnya
diberikan tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun tersangka atau keluarganya
dan/atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan 2 (dua) orang saksi, sebagaimana
diatur dalam Pasal 126 ayat (1) dan (2) KUHAP.

Selain melakukan tindakan penggeledahan, penyidik juga dapat melakukan tindakan
penyitaan. Tujuan dari penyitaan adalah untuk kepentingan pembuktian, sebab barang bukti
sifatnya adalah mutlak untuk dapat menentukan dapat atau tidaknya suatu perkara
dikatakan sebagai tindak pidana atau bukan4.

Bahwa sama seperti prosedur Penggeledahan, dalam melakukan Penyitaan penyidik juga
wajib untuk mendapatkan surat izin Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 38 KUHAP ayat (1) : “(1) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik
dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat.”

Adapun hal-hal yang dapat dikenakan penyitaan terdapat dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP
yang pada intinya menyatakan : “(1) benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang
seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak
pidana; (2) benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana
atau untuk mempersiapkannya; (3) benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi
penyidikan tindak pidana; (4) benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan
tindak pidana; (5) benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana
yang dilakukan. “

Sama seperti penggeledahan, penyidik harus mendatangi Pengadilan Negeri setempat yang
meliputi domisili dari lokasi penyitaan, untuk menyampaikan surat permohonan izin
melakukan penyitaan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Surat izin penyitaan dari Ketua
Pengadilan Negeri akan terbit kurang lebih 1-2 (satu sampai dengan dua) hari setelah
disampaikannya permohonan. Sehingga setelah ada izin penyitaan dari Ketua Pengadilan
Negeri, barulah penyidik dapat melakukan penyitaan dengan menunjukan surat perintah
penyitaan dan lampiran surat izin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.

Andi Sofyan dan Asis, “Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Prenamedia Group: Jakarta, 2014,
hal 155.

Selain izin pengadilan, dalam dilakukannya suatu penyitaan diatur juga bagaimana tindakan
penyidik sebelum dan sesudah melakukan penyitaan, sebagaimana tercantum dalam Pasal
128 KUHAP yang menyatakan : “Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu
ia menunjukkan tanda pengenalnya kepada orang dari mana benda itu disita.”

Serta setelah melakukan penyitaan, wajib dibuat suatu berita acara sebagaimana diatur
dalam Pasal 129 ayat (1) dan (2) KUHAP yang menyatakan : “(1) Penyidik memperlihatkan
benda yang akan disita kepada orang dari mana benda itu akan disita atau kepada
keluarganya dan dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan
disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi. (2) Penyidik
membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu kepada orang dari mana
benda itu disita atau keluarganya dengan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik
maupun orang atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua
orang saksi.”

Mengapa Surat Izin Penggeledahan dan Penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri
setempat itu penting?

Apabila kembali melihat pada pembahasan mengenai Amandemen Keempat Konstitusi
Amerika Serikat di atas, pengaturan mengenai perlunya surat Izin Pengadilan adalah untuk
melindungi hak masyarakat atas privasi dan kebebasan dari campur tangan
pemerintah yang tidak wajar.

Meskipun KUHAP memberi wewenang bagi penyidik untuk menggeledah dan menyita,
namun bukan berarti penyidik dapat melakukannya secara sewenang-wenang, penyidik
wajib untuk memenuhi syarat dan prosedur yang ada. Surat Izin Ketua Pengadilan Negeri
sangatlah penting dan krusial, sebab untuk menjamin hak asasi seseorang atas
kediamannya dan menjamin hak asasi manusia.

Dalam situasi dimana suatu penggeledahan dan penyitaan terjadi di dalam rumah, maka hal
tersebut digolongkan sebagai penggeledahan dan penyitaan bukan ditempat umum,
sehingga jelas ada hak privacy masyarakat yang wajib dihargai oleh penyidik. Oleh
karenanya, dibutuhkan suatu izin penggeledahan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat
guna menjamin hak asasi seseorang atas rumah kediamannya sesuai dengan amanah
Pasal 33 ayat (1) KUHAP, kecuali penggeledahan dan penyitaan yang saat itu dilakukan
dikarenakan adanya suatu keadaan mendesak yang dapat dibuktikan oleh Penyidik.

Bahwa fungsi dari dikeluarkannya Surat Izin Penggeledahan dan/atau Penyitaan dari Ketua
Pengadilan Negeri Setempat ialah agar menjamin dilaksanakannya sistem Check and
Balance dalam suatu lembaga Kepolisian, guna terwujudnya supremasi hukum dan
keadilan, serta menjamin, melindungi, dan terpenuhinya hak asasi manusia sesuai dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.5
Bahwa berdasarkan seluruh penjabaran diatas, KUHAP sudah dengan jelas mengatur jika
Pengadilan diberikan kewenangan dalam menjaga sistem check and balance terhadap
seluruh tindakan Upaya Paksa yang dapat dilakukan oleh Polri, terkhususnya dalam
melakukan tindakan Penggeledahan dan Penyitaan.

Namun pada kenyataannya, ketentuan ini justru banyak disepelekan dan disalahgunakan
oleh “oknum” Polri, sehingga penting bagi masyarakat untuk mengetahui prosedur yang
wajib dipenuhi Polri sebelum melakukan Upaya Paksa Penggeledahan dan Penyitaan yaitu
memperoleh Izin dari Ketua Pengadilan Setempat agar hak-hak dan privacy masyarakat
tidak dilanggar oleh “oknum” Polri.

Nano Tresna Arfana, “Akil Mochtar Paparkan Pentingnya Mekanisme Checks and Balances untuk
Pemerintahan Demokratis”, diakses dari https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=7834

Need Help? Chat with us
Please accept our privacy policy first to start a conversation.