Berkaca dari kasus yang sedang menjadi sorotan saat ini yaitu “Kasus Sambo”, di
mana telah terenggutnya nyawa seorang aparat kepolisian yang dilakukan di kediaman
Ferdy Sambo, dan dalam kasus tersebut telah banyak terjadi rekayasa yang dilakukan oleh
Pihak Kepolisian yang bertujuan untuk menutup-nutupi kebenaran yang terjadi, sehingga
muncul istilah perbuatan “obstruction of justice”. Lantas, apakah sebenarnya yang dimaksud
dengan obstruction of justice ?
Dalam Black’s Law Dictionary, obstruction of justice adalah segala bentuk intervensi
kepada seluruh proses hukum dan keadilan dari awal hingga proses itu selesai dengan
tujuan untuk mengaburkan fakta yang seharusnya dapat diperoleh. Obstruction of justice
sendiri berasal dari sistem hukum Anglo Saxon, yang diterjemahkan dalam hukum pidana
Indonesia sebagai “tindak pidana menghalangi proses hukum”. Adapun proses hukum yang
dihalang-halangi dalam pembahasan kali ini dalam rangkaian proses pemeriksaan yang
dilakukan oleh instansi kepolisian, seperti proses penyelidikan dan penyidikan, hingga
proses pemeriksaan di muka pengadilan.
Shinta Agustina juga berpendapat: “For prosecutors, the crime of obstruction of
justice is an offense that is relatively easy to prove. This is in part because the statue does
not require an actual obstruction. Under the omnibus clause of §1503, obstruction of justice
marely require an “endeavor” to obstruct of justice”.
Pada keterangan tersebut, maka tindakan “obstruction of justice” selain ditinjau dari
perbuatannya yang telah memuat adanya kesalahan dari pelaku yang telah memuat adanya
kesalahan dari si pelaku yang harus dianggap sebagai kesengajaan sebagai maksud,
serta perbuatan tersebut secara nyata telah bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku maka terhadap perbuatan tersebut dapat dikatakan
sebagai perbuatan pidana/ tindak pidana.
Adapun payung hukum mengenai perbuatan obstruction of justice di Indonesia
tertuang dalam:
a. Pasal 221 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
“(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah :
1. barang siapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan
atau yang dituntut karena kejahatan, atau barang siapa memberi pertolongan
kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh penjahat
kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain yang menurut ketentuan
undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan
jabatan kepolisian;
1 Shinta Agustina, dkk, Obstruction Of Justice: Tindak Pidana Menghalangi Proses Hukum Dalam
Upaya Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: Themis Book, 2015), hal. 31
2. barang siapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk
menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau
penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda
terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas
kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat
kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan
undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan
jabatan kepolisian.
(2) Aturan di atas tidak berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut dengan
maksud untuk menghindarkan atau menghalaukan bahaya penuntutan terhadap
seorang keluarga sedarah atau semenda garis lurus atau dalam garis menyimpang
derajat kedua atau ketiga, atau terhadap suami/istrinya atau bekas suami/istrinya.”
b. Pasal 223 KUHP :
“Barang siapa dengan sengaja melepaskan atau memberi pertolongan ketika
meloloskan diri kepada orang yang ditahan atas perintah penguasa umum, atas
putusan atau ketetapan hakim, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan.”
c. Pasal 55 KUHP :
“(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta
melakukan perbuatan;
2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan
kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau
dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan
orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang
diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.”
d. Pasal 56 KUHP :
“Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan ;
2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk
melakukan kejahatan”
e. Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi:
“Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang
pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara
korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12
tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.”
Bahwa tindakan obstruction of justice juga erat kaitannya dengan proses
penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh Pihak Kepolisian karena Polisi dalam
rangka untuk menemukan kepastian hukum atas Laporan Pidana yang ditanganinya,
membutuhkan bukti-bukti yang kuat untuk membuktikan jika Laporan Pidana yang diterima
memenuhi unsur-unsur pidana sehingga dapat meningkatkan status Laporan Pidana masuk
ke Penyelidikan, hingga masuk ke tahap Penyidikan, di mana Penyidik meyakini adanya
pelanggaran secara Pidana terhadap orang atau pihak yang dituduh melakukan kejahatan
tersebut.
Namun tak jarang dalam proses Penyidikan, ada halangan yang terjadi dalam proses
tersebut. Dari tingkat kesulitan dalam mendalami perkara tersebut, hingga ada
“oknum-oknum” yang berupaya untuk menggagalkan proses penanganan perkara tersebut.
Bahkan dalam “Kasus Sambo” justru Polisi sendiri yang berusaha menutupi fakta hukum
yang sebenarnya terjadi dan tindakan inilah yang disebut sebagai obstruction of justice.
Bahwa dalam Sidang Pra Peradilan yang diajukan oleh Kantor Pengacara Bernard
Kaligis baru-baru ini juga terungkap fakta hukum jika terdapat dugaan tindakan obstruction
of justice yang dilakukan oleh “Oknum” Polisi pada saat penggeledahan dan penyitaan di
kediaman Terlapor.
Perbuatan obstruction of justice tersebut dialami saat mewakili Terlapor dalam
proses penyelidikan dan penyidikan, dimana hak Terlapor yang dibela oleh Kantor
Pengacara Bernard Kaligis ditindas oleh “Oknum” Polisi yang tidak memperbolehkan
Terlapor didampingi oleh Kuasa Hukumnya pada saat Polisi melakukan tindakan
penggeledahan dan penyitaan.
Padahal sesuai dengan ketentuan Pasal 54 dan 55 KUHAP, baik Terlapor maupun
Tersangka berhak mendapatkan bantuan hukum berupa pendampingan oleh penasihat
hukum dalam setiap tahapan pemeriksaan, termasuk saat dilakukan pengecekan TKP,
rekonstruksi, penggeledahan, maupun penyitaan.
Bahwa pada saat itu, “Oknum” Polisi malah menuduh Penasihat Hukum Terlapor
yang hendak mendampingi Terlapor melakukan tindakan yang “menghalang-halangi
penyidikan”. “Oknum” Polisi juga tidak mengindahkannya keberatan yang dinyatakan oleh
Penasihat Hukum Terlapor saat memaksa ingin mendampingi Kliennya dan tetap tidak
memperbolehkan Terlapor didampingi Kuasa Hukum karena permintaan Kuasa Hukum
Pelapor.
Adapun tujuan dari pendampingan oleh Penasihat Hukum adalah semata-mata agar
proses cek TKP dan rekonstruksi dapat diketahui secara transparan dan objektif untuk
memberikan kepastian hukum bagi Klien.
Akibat tidak didampinginya Terlapor oleh Kuasa Hukum, akhirnya “Oknum” Polisi
dengan tanpa pengawasan, menyita “barang bukti” yang patut diduga merupakan hasil
rekayasa dan sebenarnya tidak ada kaitannya dengan perkara tersebut. Dengan kata lain,
“Oknum” Polisi telah memalsukan fakta dalam perkara yang ditanganinya dan menciderai
hak Terlapor.
Bahwa tindakan pelarangan Terlapor untuk didampingi oleh Kuasa Hukumnya pada
tahap pemeriksaan, yang dilakukan oleh “Oknum” Polisi dengan tanpa dasar yang jelas,
telah melanggar ketentuan KUHAP dan patut diduga merupakan salah satu bentuk upaya
obstruction of justice. Bahwa pelarangan tersebut dilakukan agar “Oknum” Polisi dengan
leluasa dan tanpa pengawasan dapat merekayasa “barang bukti” palsu demi memenuhi
permintaan Pelapor. Terlebih lagi karena tindakan penggeledahan dan penyitaan hanya
dihadiri oleh Pelapor, Terlapor dan “Oknum” Polisi tanpa disaksikan oleh Ketua RT/RW
maupun warga sekitar.
Tindakan kesewenang-wenangan “Oknum” Polisi ini juga merupakan bentuk
obstruction of justice yang dilakukan semata-mata untuk menutupi fakta hukum yang
sebenarnya terjadi dan merupakan perbuatan pidana yang dapat dijerat dengan hukuman
penjara.