RESTORATIVE JUSTICE (RJ) BUKAN SOLUSI UTAMA

Dalam ranah pidana, Indonesia sudah cukup maju dengan adanya kerjasama antara kepolisian dengan kejaksaan yang ditandai dengan adanya proses keadilan restoratif atau restorative justice (RJ). Istilah RJ sendiri merupakan upaya mendamaikan antara Pelapor dengan Terlapor sebelum Laporan Polisi tersebut dinyatakan sudah lengkap dan dilimpahkan ke Kejaksaan RI (P-21). Walaupun banyak perkara pidana diselesaikan dengan adanya RJ ini, hukum di Indonesia juga memiliki upaya lainnya tanpa harus melalui RJ. RJ sendiri juga sebenarnya malah akan menciptakan celah baru bagi pihak-pihak ingin memanfaatkan RJ tersebut menjadi suatu komoditas untuk meraup keuntungan lebih. Selain dari itu, kemungkinan akan muncul dana-dana atau transaksi siluman serta berpotensi juga menjadi sarana pemerasan terhadap Pihak Terlapor yang di mana belum tentu bersalah atas laporan yang dibuat untuk dirinya.   Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS Komjen Pol (Purn.) Adang Darajatun mengungkapkan bahwa marak terjadi praktik jual-beli penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif atau restorative justice yang terjadi di lapangan selama ini. Meski demikian, Adang tak merinci di mana dan kapan saja praktik jual beli restorative justice yang dia temukan tersebut. Adang mengatakan konsep RJ kini mulai bergeser. Dirinya tak ingin praktik dugaan jual beli restorative justice ini justru membuka kesempatan kepada masyarakat berkemampuan ekonomi tinggi untuk “membeli keadilan”[1]. RJ seakan-akan di Indonesia menjadi satu-satunya pilihan bagi Terlapor untuk menyelesaikan laporan yang ditujukan kepada dirinya, padahal proses hukum tidak hanya  dapat diakhiri dengan “manis” dengan RJ saja. Jika RJ dipandang sebagai jalan pintas untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi, RJ akan kehilangan nyawa-nya sebagai solusi alternatif untuk setiap laporan polisi yang dibuat. RJ hanya akan menjadi komoditas dan menjadi sarana bagi pihak-pihak untuk berniat buruk untuk memanfaatkan tekanan yang diterima oleh terlapor sehingga dapat dengan mudah diperas lalu laporan tersebut ditutup/diakhiri tanpa ada yang tahu pihak manakah yang benar dan pihak manakah yang beriktikad buruk. Selain RJ, jika kemungkinan terburuknya adalah berkas di kepolisian dinyatakan telah lengkap, bukan berarti hal tersebut akan menjadi akhir dari segalanya bagi pihak terlapor. Pihak terlapor diberikan kesempatan untuk memberikan pembelaannya berikut dengan saksi yang meringankan (a de charge) serta membuktikan sebaliknya bahwa dirinya tidak bersalah. Melalui hal tersebut, Jaksa Penuntut Umum atau JPU dapat mempertimbangkan tuntutannya dan dapat memberikan terobosan atas perkara tersebut dengan menerbitkan Surat Tuntutan yang berisikan tentang tuntutan bebas atau biasa disebut dengan Requisitoir Bebas.

Requisitoir Bebas merupakan produk yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Republik Indonesia berupa Akta Tuntutan oleh Kejaksaan dalam hal ini diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Terdakwa dalam persidangan yang di mana JPU dalam persidangan menuntut bebas atas perkara yang ditanganinya dengan tujuan untuk membebaskan Terdakwa dalam perkara tersebut karena pada umumnya Penuntut Umum berkeyakinan terdakwa tidak bersalah atas perkara yang didakwakan.

Berkaca dari kejadian beberapa tahun silam, Masyarakat Indonesia sempat diramaikan dengan isu Kegaduhan hukum yang  ramai terhadap kasus seorang istri yang  dilaporkan oleh  suaminya sendiri, Valencya merupakan istri dari Chan Yung Ching (suami),  Jaksa penuntut umum mendakwa Valencya  dengan ancaman 1 tahun  penjara, dikarenakan telah  melanggar Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang berbunyi sebagai berikut:

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).

Namun seiring berjalannya waktu, segala proses telah dilalui dalam persidangan Jaksa penuntut umum (JPU) mengubah tuntutan terhadap terhadap Valencya alias Nancy Lim dari setahun penjara menjadi tuntutan bebas. Valencya dianggap tidak terbukti bersalah dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

JPU menyampaikan hal itu dalam sidang dengan agenda replik, di Pengadilan Negeri Karawang. Dalam persidangan itu, Syahnan Tanjung, JPU yang ditunjuk langsung oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia menyatakan, Valencya tidak terbukti melakukan

tindak pidana kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga melalui pembacaan Surat Tuntutan yang diajukan di Persidangan dengan bunyi sebagai berikut:

Menyatakan terdakwa Valencya alias Nancy Lim, anak dari Suryadi tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 5 huruf b UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sehingga dituntut bebas.”[1]

Berdasarkan hal tersebut, Requisitoir Bebas dalam tuntutan pidana memang sangat dimungkinkan dalam suatu perkara, namun hal ini juga harus dikaji dalam artian melihat kepada pokok perkara, alat bukti, serta fakta-fakta yang terungkuap di dalam persidangan tersebut. Pembuktian secara materiil menjadi kunci utama bagi seorang Penuntut Umum untuk dapat memberikan tuntutannya kepada pihak terdakwa baik secara sah dan meyakinkan menurut JPU bersalah ataupun tidak bersalah (tidak terbukti melakukan tindak pidana). Requisitoir Bebas memang tidak diatur secara spesifik dalam KUHAP yang mengatur tentang hukum formil pidana, namun requistioir dapat ditunjang dengan sejumlah pasal yang terkandung di dalam KUHAP.

Pasal 185 ayat (1) KUHAP berbunyi sebagai berikut:

Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.

Pasal 185 ayat (4) KUHAP berbunyi sebagai berikut:

Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.”

KUHAP menjunjung tinggi asas “Praduga Tidak Bersalah” dengan pendekatan due process of law dan bukan crime control sebagaimana dipraktekkan sebelumnya di zaman HIR. Itulah sebabnya mengapa di dalam KUHAP terdakwa tidak diberikan beban

pembuktian ataupun keharusan untuk melakukan sumpah dalam memberikan keterangan di depan persidangan, sebagaimana halnya dengan saksi maupun saksi ahli ketika ingin memberikan keteangan di depan persidangan.[1]

Berdasarkan Pasal tersebut, dapat dimungkinkan untuk muncul fakta-fakta baru yang pada akhirnya dapat mengubah perspektif dari JPU untuk memberikan tuntutan yang setimpal dan dinilai adil untuk Terdakwa. Selain daripada itu, hal ini bertujuan untuk membuka mata masyarakat dan penegak hukum bahwa Dakwaan yang semula diberikan kepada Terdakwa tidak secara absolut benar dan masih harus diuji kebenarannya di muka persidangan.

 

Tuntutan Bebas atau Vriijspraak juga diperkuat dengan adanyanya Pedoman Jaksa Agung Nomor 3 Tahun 2019 tentang Tuntutan Perkara Tindak Pidana Umum yang di mana suatu perkara dapat dituntut bebas jika memenuhi kondisi sebagai berikut[2]:

  1. kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan;
  2. tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena tidak terpenuhinya unsur tindak pidana;
  3. tidak terpenuhinya dua alat bukti yang sah karena alat bukti yang diajukan di depan persidangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian atau diperoleh secara tidak sah.

[1] Kaligis, O.C., 2010, “Requisitoir bebas dalam perkara pidana”, Jakarta, Hlm. 601.

[2] Pedoman Jaksa Agung Nomor 3 Tahun 2019 tentang Tuntutan Perkara Tindak Pidana Umum.

Need Help? Chat with us
Please accept our privacy policy first to start a conversation.